Sepatu
Sepatu
Eep saifullah
Hujan pertama akhirnya jatuh juga. Selepas musim kemarau yang terlampau panjang, hujan pertama selalu disambut di kampung kami dengan pesta.
Wa Sunta terlihat melintas di jalan
desa menggiring dua ekor kerbau kurusnya. Ketiganya berjalan gontai, tak
terlihat tergesa, dipeluk petir dan hujan. Gambar mereka melamat ketika
menjauh. Hujan dan petir dengan akrab mengantar mereka hingga lenyap diterkam
belokan.
Sejak masih gerimis, Anah, istriku,
sudah membopong gentong-gentong air dari dapur, dengan sigap membawanya keluar.
Anah berpesta dengan caranya sendiri. Pada tiap hujan pertama, ia selalu
membersihkan gentong-gentong air kami yang kerontang selama kemarau, sambil
membiarkan dirinya sendiri berlama-lama dicumbu hujan. Lekuk tubuhnya segera
terbentuk oleh baju dasternya yang basah, membuatku tiba-tiba menginginkan
malam segera datang.
Aku sendiri, pada setiap hujan
pertama seperti ini tak pernah lepas dari ritual pesta yang itu-itu juga. Duduk
mencangkung di depan jendela depan. Membuka hidung lebar-lebar membaui tanah
pelataran yang terperawani tetes demi tetes air hujan pembukaan. Menghanyutkan
diri dalam aroma legit bau tanah tersiram air. Ah, sembilan bulan sudah
kurindukan bau ini.
Datangnya musim penghujan membikin
kampung kami siuman dari mati suri panjang. Sejak sungai Cipamingkis ditambang
batunya, digali pasirnya, dan akhirnya mati, sawah-sawah di kampung kami
kehilangan tempat menyusu di musim kering. Semua sawah menjadi tadah hujan
saja.
Maka kemarau adalah bencana. Berita
duka yang tak sudi kami dengar, tapi selalu saja tiba. Di setiap kemarau
sawah-sawah mengering, merekah, retak terbelah-belah. Ketika kemarau
berlarut-larut tak berujung, kampung kami kehilangan akal dan akhirnya hanya
berpaling pada sebaris harapan: Semoga hujan bergegas datang dan membunuh
kemarau laknat itu segera.
Bagi guru sepertiku, musim penghujan
sebetulnya tak punya terlalu banyak arti. Bahkan, selalu saja ia menghadiahiku
kerepotan-kerepotan baru. Setiap hari, pergi dari rumah ke SD Inpres di seberang
bukit itu, aku mesti menggulung celana panjangku tinggi-tinggi, tak membiarkan
lidah air berlumpur menjilat celanaku. Celana layak satu-satunya.
Kedua tanganku pun dibuat sibuk.
Tangan kanan menjinjing tas. Tangan kiri, yang terbiasa menganggur, punya
pekerjaan baru: menjinjing sandal. Aku bak pemain sirkus, mesti menjaga
keseimbangan di sepanjang pematang, bersiasat untuk tak tergelincir tercebur ke
sawah berair berlumpur-lumpur.
Kerepotanku tak usai di situ.
Sebelum ke kelas atau ruang guru, aku tentu saja mesti ke parit di belakang
gedung sekolah itu. Mencuci kaki. Menurunkan gulungan celana. Lalu menyematkan
sandal ke kedua kakiku yang kuyup. Betapa merepotkannya jika aku bersepatu.
Ketika sol sepatuku, sepatu
terakhirku, jebol di tengah kemarau tahun lalu, aku sempat meratapinya. Tapi,
ketika musim penghujan seperti ini datang, segera kutahu bahwa barang mewah
semacam itu kadang kala tak punya guna. Di pasar kecamatan, sepatu termurah
saja harganya 20 ribu!
Bersepatu pergi pulang mengajar di
musim penghujan seperti ini hanya membikin-bikin kerepotan yang tak perlu.
Semacam kesia-siaan. Bahkan penyiksaan diri.
Tentu cerita bisa berbeda jika saja
ada sepeda. Pematang penuh jebakan lumpur itu bisa kuhindari dengan sedikit
memutar menyusuri jalan desa. Tapi sejak kutahu bahwa sepeda bekas yang butut
saja harganya lima puluh ribu perak, aku berhenti memikirkannya.
Untungnya, kepala sekolah tak
mengharuskan guru honorer, guru bantu sepertiku bersepatu. Aku pun bisa
mengajak sandal lili-ku bertemu 47 murid kelas enam yang bertumpuk di kelas
paling ujung kiri itu. Setiap hari. Mereka benar-benar bertumpuk di ruang kelas
darurat yang sempit itu.
Tapi bagiku, pintu kelas itu adalah
celah menuju kebahagiaan. Memasukinya membuatku bertemu mata-mata yang haus dan
berharap, tetapi juga kuyu dihantam kemiskinan. Aku selalu bahagia setiap kali
kekuyuan itu lenyap sesaat tertelan kegembiraan menemukan hal-hal baru dari
pelajaran kelas. Dari hari ke hari. Dari pukul 07.15 pagi hingga zuhur lepas
pergi dan asar hampir menjemput.
Selalu saja terbit rasa senang
melihat mata-mata itu menjadi sedikit berkilat setiap kali kukatakan, “Negara
kita Indonesia, besok akan menjadi lebih baik jika kita warganya bisa
memelihara nurani kita. Begitu juga Sukamanah, desa kita.”
Kadang-kadang anak-anak itu
merepotkanku dengan pertanyaan mereka. Mereka kudorong agar tak berpuas diri
sekadar lulus SD dan lanjut bersekolah ke SMP di kota kecamatan. Hardi, salah
seorang yang terpandai pun bertanya, mengutip kata-kata Ayahnya. “Untuk apa
melanjutkan sekolah dan meninggalkan sawah-sawah kami? Bukankah sekolah tinggi
hanya akan membikin kami membenci sawah tapi juga tak menyediakan pekerjaan
lain, lalu membikin kita hanya bisa luntang-lantung menyusahkan orangtua
seperti anak-anak kepala dusun itu?”
Maka aku pun menjawabnya.
“Bersekolah bukanlah untuk mencari pekerjaan, apalagi membenci sawah. Kita bisa
bersekolah tinggi sambil tetap mencintai kampung kita, sawah-sawah kita.
Bersekolah itu untuk membuat kita tak jadi orang-orang yang tak mengerti keindahan
walaupun memiliki mata, tak mendengarkan kebaikan walaupun memiliki telinga,
tak membela kebenaran walaupun memiliki hati, tak pernah terharu dan tak
bersemangat.”
“Pak Sobarudin, bisa ke kantor saya
sebentar?” Suara Pak Dudung, kepala sekolah, tiba-tiba menyeruput telingaku
dari arah punggung.
“Ada undangan penting dari
kabupaten,” katanya lagi, sebelum sempat kukeluarkan sepatah kata pun.
“O ya…” Aku membuntutinya.
“Ini undangan untuk Pak Sobar. Semua
guru honorer sekecamatan dikumpulkan bertemu Bupati minggu depan.”
Aku segera membukanya. Beberapa kata
segera berpindah dari kertas itu ke kepalaku. Minggu. 15 November. Siang. Aula
Kecamatan. Bupati. Realisasi Perbaikan Nasib Guru Wiyata Bakti.
Hari Minggu ini sebenarnya sama saja
seperti hari-hari Minggu lainnya. Ia terasa berbeda hanya lantaran inilah hari
Minggu pertama di musim penghujan. Kampung kami menjadi lebih sibuk. Hampir
semua rumah memboyong seluruh isinya ke sawah, memulai upacara hidup yang
itu-itu juga. Bercocok tanam. Mengutang pupuk ke koperasi desa. Memimpikan
panen, padahal sawah baru saja mulai digarap. Menghitung kerugian yang pasti
datang karena ongkos bersawah selalu saja lebih tinggi dari harga jual padi.
Menyisakan hasil panen untuk bertahan hidup ala kadarnya selama kemarau yang
belum-belum sudah mengintip mengendap hendak kembali.
Siang ini aku harus ke kecamatan,
berjalan kaki tiga kilo ke arah barat daya. Sedari pagi buta, ketika matahari
masih terbungkus kabut, pasti sudah banyak orang mengepung kantor kecamatan,
untuk melihat wajah Pak Bupati yang katanya masih muda dan rajin membagi senyum
itu.
“Kang, jangan lupa mampir ke rumah
Bi Mumun,” Anah mengingatkanku ketika setengah badanku sudah tertelan pintu,
hendak pergi.
“Ya.”
Sepulang dari kecamatan, aku memang
harus mampir ke pabrik tempe istri almarhum pamanku itu. Menjemput kulit kacang
kedelai. Anah biasa mencampurnya dengan terigu, bawang putih, garam dan sedikit
merica, lalu menyulapnya menjadi makanan penganan bahkan kadang-kadang
lauk-pauk utama. Dan kami menyukainya. Apalagi jika tersedia juga cobek favorit
kami. Cobek bohong. Penampilannya memang seperti cobek, tapi sebetulnya bukan
juga. Ia hanya kuah belaka, tanpa jengkol atau ikan lele, atau apa pun. Di sana
hanya ada cabe merah yang panjang menjuntai-juntai mengundang gigitan. Orang-
orang di kampung kami pun menyebutnya cobek bohong. Menu semacam itu adalah
kemewahan besar di rumah kami, apalagi di masa-masa darurat.
Tapi hidup kami selalu saja darurat.
Selepas SPG, lima tahun lalu, tak ada pekerjaan menjemputku. Semestinya aku
jadi guru SD. Tapi itulah. Setiap tahun, selalu saja kemestian itu terganjal
ujian penerimaan guru. Aku tak pernah lulus. Bukan sulitnya soal ujian yang
sebenarnya menjadi masalahku, tapi selalu saja aku tak mampu menyediakan
amplop, dengan isi mesti di atas satu juta rupiah, untuk Kepala Kantor
Departemen. Kalau saja amplop itu tersedia, Pak Kakandep tentu akan segera
mengurus kelulusanku. Tapi, dari mana kudapat uang sebanyak itu? Melihatnya
saja aku tak pernah.
Untungnya, tenagaku masih terpakai
di kampung. Membantu Bi Mumun di pabrik tempe. Membantu panen Kang Soleh dan
tetangga-tetangga dekat lainnya. Membantu menjagal sapi menjelang Hari Raya
Kurban. Membantu mencukur rumput kuburan desa setiap menjelang bulan puasa.
Mengambil air dari sumur tua yang tak pernah kering di balik bukit untuk kepala
dusun, tiap kali kemarau menjadi-jadi. Mengecat dan membetulkan pagar masjid
menjelang lebaran.
Tenagaku tak selalu dihargai dengan
uang. Kadang-kadang diganjar hasil cocok-tanam, padi, atau makanan. Tapi
semuanya terasa sangat membantu. Adapun satu-satunya sumber penghasilan tetapku
adalah honor sebagai guru wiyata bakti itu, guru honorer, guru bantu, sebesar
75 ribu setiap bulan.
Uang itu jauh dari cukup dan selalu
habis untuk melunasi utang-utang belanja dapur kami ke warung Ceu Nenden di
pertigaan jalan desa itu. Untungnya, jodohku adalah Anah yang tak pernah
menuntut. Sejak kunikahi empat tahun lalu, tak sekalipun Anah mengeluhkan
keadaan kami. Di tengah kesusahan yang terus menguntit kami, Anah selalu
melayaniku dengan baik. Siang dan malam hari.
Anah-lah yang justru mengajariku
untuk selalu bersyukur atas apa pun yang kami peroleh. Mengajari tetap
bersyukur sekalipun sampai saat ini kami belum juga beroleh momongan. Kami tak
pernah membebani Tuhan dengan macam-macam tuntutan. Cukup sajalah kami tahu
bahwa Tuhan tak pernah tidur.
Pertemuan di aula kecamatan hari ini
sebetulnya bukan yang pertama. Dua tahun lalu, semua guru honorer juga pernah
dikumpulkan. Di aula sama. Hanya saja, waktu itu kami tak seberuntung sekarang.
Dulu, yang yang datang bukan Bupati tetapi Kakandep dari kabupaten.
Selepas pertemuan itu, rasa syukurku
bertambah-tambah. Sejumlah guru honorer tampaknya memang lebih beruntung
dariku. Mereka bisa menambah penghasilan dengan menarik ojek di pasar
kecamatan. Ada juga yang membuka warung atau kios koran, komik-komik agama dan
teka-teki silang. Tapi jauh lebih banyak yang bernasib lebih buruk. Pak Kosim
dari desa di ujung utara itu hanya digaji 25 ribu per bulan. Ibu Eti, guru sedesaku,
tak punya gaji sama sekali. Ia hanya bisa menunggu hadiah hasil panen dari wali
murid di kelasnya. Padahal, panen sering diganggu hama. Pak Komarudin, yang
ternyata hanya terpisah tiga kampung denganku, digaji 25 ribu ditambah uang BP3
sebesar 1.500 rupiah dari murid-murid di kelasnya. Muridnya hanya ada 12 orang.
Miskin semua. Mereka lebih sering menunggak ketimbang melunasinya.
Di pertemuan dua tahun lalu itu pula
kukenal Pak Asep Saepudin yang kepandaian bicaranya mengingatkanku pada Kiai
Ishak, khatib masjid kecamatan. Ia guru di kota kecamatan. Pendiri dan pemimpin
Lembaga Swadaya Masyarakat Peduli Anak Bangsa (LSMPAB) yang katanya berusaha
mengurusi nasib guru-guru bantu seperti kami. Dari Pak Asep pula aku tahu
betapa pemerintah memang kekurangan guru SD dan membutuhkan kami. Propinsi kami
saja, katanya, kekurangan 33.768 guru SD. Sebanyak 17.877 di antaranya adalah
guru kelas. Maka, lagi-lagi menurut Pak Asep, jika guru-guru honorer di seluruh
Jawa Barat berhenti, hampir 18 ribu kelas akan telantar.
“Kami para guru honorer bukanlah
orang-orang yang disumbang pemerintah. Kamilah yang membantu pemerintah
menyelenggarakan pendidikan di tingkat dasar. Kalau tak ada kami, pemerintah
kerepotan. Jadi, bukan kami yang harus berterima kasih, tetapi pemerintahlah
yang semestinya berterima kasih dan memperbaiki nasib kami,” begitulah antara
lain yang dikatakan Pak Asep di pertemuan itu. Hadirin bersorak bertepuk
tangan. Wajah Pak Kakandep kulihat memerah delima.
Boleh jadi, suara Pak Asep sampai
juga ke telinga Pak Bupati. Buktinya hari ini Pak Bupati datang dan akan
mengurus “Perbaikan Nasib Guru Wiyata Bakti.” Seperti tertulis di undangan.
Benar saja. Kantor kecamatan seperti
gula dikepung semut. Halaman luarnya disesaki orang-orang. Mereka benar-benar ingin
melihat wajah Pak Bupati yang murah senyum itu rupanya.
Setelah kulipat-lipat badan,
menyelusup di tengah orang-orang yang berkerumun, bertukar keringat dengan
mereka, akhirnya sampai juga aku di depan aula itu. Kuacungkan kertas undangan
memberi tahu bahwa aku guru honorer yang memang berhak masuk aula.
“Nah… ini ada satu lagi.” Seseorang
yang berseragam coklat muda tiba-tiba setengah menghardikku sambil
menunjuk-nunjuk ke arah sandal dan kakiku, membuatku bingung tak mengerti.
“Mari. Saudara harus duduk di ruang
terpisah. Tidak di aula. Ini instruksi Bapak-Bapak di kantor kabupaten. Yang
masuk aula harus pakai sepatu. Untuk menghormati Pak Bupati!”
Aku mulai mengerti. Semacam amarah
beranak-pinak di dadaku. Tak boleh masuk aula hanya karena tak bersepatu? Apa
yang salah dengan sandal lili yang baru kucuci tadi pagi ini? Sepatu?
Menghormati Bupati?
Tapi mata tak bersahabat orang-
orang berseragam coklat muda itu dengan cepat menggugurkan anak- pinak
kemarahanku. Aku pun membuntuti mereka. Masuk ke ruang di sebelah aula. Di sana
sudah ada beberapa puluh orang lainnya. Semuanya tak bersepatu. Moncong
pengeras suara mengintip dari jendela, memelototi kami. Aku tak sendiri.
Kutemukan juga beberapa wajah tak senang. Menahan marah.
Duh Anah…. Maafkan aku. Dari sini,
aku tak bisa melihat wajah Pak Bupati. Aku tak bisa menjaga janjiku untuk
sepulang nanti bercerita apakah benar Pak Bupati muda itu memang selalu
tersenyum.
“Syukurlah Kang. Syukur.”
Hanya itu yang keluar dari mulut
kecil Anah ketika kuceritakan apa yang kudengar dari Pak Bupati di pertemuan
itu. Pak Bupati berjanji memperbaiki nasib guru-guru honorer di kecamatan kami
yang ternyata jumlahnya makin banyak. Ratusan. Pak Bupati akan segera melakukan
sesuatu. Bertahap. Sesuai kemampuan kabupaten. Untuk memperbaiki kesejahteraan
guru- guru honorer. Dimulai dari yang penting.
Hampir setiap hari kampung kami
diguyur hujan. Pematang sawah menuju sekolah itu pun makin menuntut
keterampilan-keterampilan sirkusku. Sudah kubatalkan pula rencana memperbaiki
sepatu jebolku ke pasar kecamatan. Sepasang sepatu, barang mewah yang tak
berguna dan merepotkan itu, kini tercampak bersama timbunan sampah di kebun
belakang. Tali keduanya saling terikat. Teronggok. Seperti sepasang anak kembar
yang mati bunuh diri.
Dua minggu sudah pertemuan dengan
Pak Bupati itu lewat. Hari ini, langit di atas kampung kami bolong. Air pun
jatuh tercurah deras. Petir dan angin besar mengecewakan anak-anak Kang Soleh.
Rengekan mereka untuk bermain bersama hujan, bertepuk sebelah tangan. Kulihat
mereka duduk-duduk di beranda, memandangi hujan dengan penuh hasrat.
Satu sosok muncul dari belokan jalan
desa. Setengah berlari. Setangkai daun pisang memayungi kepalanya-kurasa,
dengan percuma. Ia tetap kuyup juga. Petir dan angin seperti mendorong-dorongnya
untuk bergegas. Badan kuyupnya dibungkukkan, sepertinya melindungi sesuatu di
dadanya. Sosok itu mendekat. Ia tak menyusuri jalan desa yang menikung ke kiri.
Tapi ke rumahku. Persis ke arahku.
Ternyata Mang Maman, penjaga SD
Inpresku.
“Silakan masuk Mang. Aduh. Hujan
besar begini kok memaksakan diri datang ke sini.”
“Saya diminta Pak Dudung mengantar
kiriman untuk Pak Sobar. Katanya penting. Dari Pak Bupati. Ada juga suratnya.”
Kubiarkan Kang Maman berdiri di
pintu. Badannya kuyup. Seperti kerupuk tercelup kuah sayur.
Kuambil kardus itu. Kubuka suratnya.
Benar. Dari Pak Bupati. Pendek saja. Dari kertas, kata-kata berat itu berpindah
ke kepalaku. Wujud kepedulian pemerintah. Usaha nyata membantu harkat guru
honorer. Menaikkan citra, wibawa, dan martabat Guru Wiyata Bakti. Untuk masa
depan dunia pendidikan yang lebih baik.
Maka, kubuka kardus itu. Isinya:
sepasang sepatu.
Columbus, 2004
Keterangan:
(1) Sandal lili adalah sandal terbuat dari plastik, bukan sandal jepit, dengan model yang biasanya standar, dengan pilihan warna-warna-biru, merah, hijau, coklat, hitam-yang kusam.
(1) Sandal lili adalah sandal terbuat dari plastik, bukan sandal jepit, dengan model yang biasanya standar, dengan pilihan warna-warna-biru, merah, hijau, coklat, hitam-yang kusam.
(2) SPG adalah Sekolah Pendidikan
Guru. Sekolah untuk menghasilkan calon guru-guru sekolah dasar ini sekarang
sudah dilikuidasi pemerintah.
(3) Guru Wiyata Bakti adalah sebutan
resmi yang dipakai pemerintah untuk para guru honorer yang bukan pegawai
negeri. Sebelum masa otonomi daerah, sebagian dari mereka memperoleh honor ala
kadarnya dari pemerintah pusat. Setelah otonomi daerah, mereka menjadi beban
(yang diabaikan) dari pemerintah daerah.
(4) Pernyataan bahwa sekolah adalah
tempat mendidik anak murid untuk tak menjadi “orang–orang yang tidak mengerti
keindahan walaupun memiliki mata, tidak mendengarkan irama musik walaupun
memiliki telinga, tidak memiliki kebenaran walaupun memiliki hati, tidak pernah
terharu dan tidak bersemangat,” adalah kutipan pernyataan Mr Kuroyanagi,
pengajar Sekolah Tomoe dalam buku termasyhur Tetsuko Kuroyanagi, Toto-Chan: Si
Gadis Kecil di Tepi Jendela.
Komentar
Posting Komentar